Konflik adalah suatu phenomena yang akan selalu mewarnai interaksi sosial sehari-hari dan menyertai kehidupan organisasi. Situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi pemicu konflik, mulai dari ketidak cocokan pribadi, perbedaan sistem nilai, persaingan, ketidak jelasan batas-batas wewenang dan tanggung jawab, perbedaan fungsi, komunikasi yang tidak “nyambung”, pertentangan kepentingan dan lain-lain. Semakin bertambah besar sebuah organisasi, semakin banyak dan kompleks konflik yang akan dihadapi.
Kejarangan terjadi konflik dalam sebuah organisasi justru perlu diwaspadai kerena dapat berarti lampu kuning bagi organisasi tersebut. Pertama, pertanda para anggota organisasi kehilangan motivasi, berkembangnya apatisme, turunnya kreativitas dan turunnya komitmen terhadap organisasi. Kedua, manajemen organisasi kehilangan kesempatan berlatih hidup bersama konflik dan mengelola konflik secara benar dan tepat sasaran. Ketiga, dari banyak konflik yang bersifat destruktif, ada pula jenis-jenis konflik yang justru menunjang akselerasi pencapaian tujuan organisasi dan meningkatkan kinerja individu maupun kelompok dalam organisasi tersebut. Jenis-jenis konflik yang bersifat destruktif perlu ditangani secara bijak, antara lain dengan cara negosiasi maupun mediasi, sementara konflik konstruktif perlu dikembangkan sehingga memberikan manfaat optimum bagi organisasi.
Ada beberapa faktor penyebab konflik yang muncul dalam organisasi, yaitu:
- Faktor Komunikasi: Salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
- Faktor Struktur: Pertarungan antara departemen, sistem penilaian yang bertentangan, persaingan memperebutkan sumber daya yang terbatas, saling ketergantungan dua atau lebih kelompok.
- Faktor Pribadi: Ketidak sesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan-perbedaan dalam nilai-nilai dan persepsi. (Berbagai Sumber)
Untuk menghindarkan penanganan dysfunctional conflict berkepanjangan dan biaya tinggi (misalnya melalui pengadilan) dapat dimanfaatkan model Alternative Dispute Resolution (ADR) dengan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi melalui cara-cara informal.
Peranan Mediator dapat berbentuk :
- Facilitation: di mana pihak ketiga mendesak dan membujuk pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding secara langsung dalam suasana yang positif dan konstruktif.
- Conciliation: di mana pihak ketiga yang netral bertindak sebagai komunikator di antara pihak-pihak yang berselisih. Ini dilakukan bila pihak yang berselisih menolak untuk bertemu muka dalam perundingan langsung.
- Peer –review: yaitu sekelompok wakil-wakil karyawan (panel) yang bisa dipercaya karena kemampuannya untuk tidak berpihak, mendengarkan pandangan, pendapat dan kepentingan pihak-pihak yang berselisih di dalam pertemuan informal dan konfidensial. Keputusan-keputusan dari panel dapat menjadi acuan untuk penyelesaian konflik.
- Ombudsman:seseorang karyawan sebuah organisasi/perusahaan yang secara luas dihormati dan dipercaya oleh rekan-rekan sekerjanya, mendengarkan keluhan mereka secara konfidensial, dan berusaha mencari jalan keluar dengan pihak manajemen.
- Mediation: pihak ketiga yang netral dan terlatih secara aktif menuntun pihak-pihak yang berselisih untuk menggali solusi-solusi inovatif untuk menyelesaikan konflik.
- Arbitration: pihak-pihak yang berselisih bersepakat menerima keputusan dari arbitrator yang netral melalui proses seperti di pengadilan, seringkali lengkap dengan bukti-bukti dan saksi-saksi.